Mungkin ini sudah yang kesekian kalinya kalo Hanindiva protes ketika bunda bekerja dan sangat gembira ketika bunda libur atau sakit seperti kemaren minggu, 4 september 2016 dan tidak masuk kerja sampe hari selasa, 6 september 2016 karena diare. Bagi ananda hanindiva, sakitnya bunda adalah bahagianya ananda. karena, dengan sakitnya bunda berarti ananda ada guru privat sekaligus teman bermain yang paling hebat. Dan sudah berkali-kali pula bunda bilang klo seandainya sudah memiliki 2 anak mau berhenti kerja dan full ngurus rumah tangga dan ngasuh anak saja.
Bagi ayah, bekerja ataupun tidak bekerja, kalau untuk sekedar makan saja, Insya Allah rejeki yang Allah kasih melalui ayah lebih dari cukup untuk menghidupi kita semua. dan ayah juga yakin bahwa setiap anak pasti membawa rejekinya sendiri. ketika Allah memberikan kita anak, maka Allah juga telah mempersiapkan juga rejekinya buat anak tersebut. Dalam pikiran sederhana ayah mengapa mengijinkan bunda bekerja adalah, embah bukanlah pensiunan pegawai negeri seperti enin yang mendapat pensiunan tiap bulan, memang tidaklah besar jika kita melihat keatas. Tapi bagi yang pandai bersyukur, pensiunan yang enin terima lebih dari cukup untuk menghidupi dirinya selama 1 bulan. Jika berkaca pada situasi diatas, ayah ingin memberikan kesempatan kepada bunda untuk berbakti kepada embah lewat uang hasil jerih payahnya sendiri. Jika bunda bekerja otomatis uang yang bunda dapatkan bisa secara leluasa dialokasikan secara lebih dinamis ketimbang jika uang itu dari hasil pemberian ayah. Secara perhitungan, ada atau tidaknya alokasi dana tertentu kepada embah, Allah maha kaya. dan DIA sangat tau akan kebutuhan hambanya. Keberkahan atas rejeki yang kita terima sesungguhnya berimbang dengan alokasi yang kita keluarkan. semakin banyak alokasi yang dikeluarkan untuk sesuatu yang di ridhoi Allah, pasti Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.
Seperti biasa, ayah melampirkan sebuah narasi buat bahan referensi.
Istri ingin bekerja
Abang, aku mau kerja!”
“Jangan, lah. Kamu di rumah saja. Istri itu di rumah tugasnya :)”
“Itu, tetangga kita, dia kerja!”
“Hehe …, dia itu guru, sayaang. Dia dibutuhkan banyak orang. Yang membutuhkan kamu tidak banyak. Hanya Abang dan anak kita. Di rumah saja, ya.”
“Itu…, tetangga kita yang satunya, yang sekarang sudah pindah ke kampung sebelah, aku lihat dia kerja. Bukan guru. Tidak dibutuhkan banyak orang.”
“Nanti, tunggu Abang meninggal dunia.”
“Apa-apaan sih?”
“Dia itu janda, sayaaaang. Suaminya meninggal satu setengah bulan yang lalu. Makanya dia kerja.”
“Tapi kebutuhan kita makin banyak, Bang”
“Kan Abang masih kerja, Abang masih sehat, aku masih kuat. Akan Abang usahakan, InsyaAllah.”
“Iya, aku tahu. Tapi penghasilan Abang untuk saat ini tidaklah cukup.”
“Bukannya tidak cukup, tapi belum lebih. Mengapa Abang bilang begitu? Karena Allah pasti mencukupi. Lagi pula, kalau kamu kerja siapa yang jaga anak kita?”
“Kan ada Ibu! Pasti beliau tidak akan keberatan. Malah dengan sangat senang hati.”
“Istri Abang yang Abang cintai, dari perut sampai lahir, sampai sebelum Abang bisa mengerjakan pekerjaan Abang sendiri, segalanya menggunakan tenaga Ibu. Abang belum ada pemberian yang sebanding dengan itu semua. Sedikit pun belum terbalas jasanya. Dan Abang yakin itu tak akan bisa. Setelah itu semua, apakah sekarang Abang akan meminta Ibu untuk mengurus anak Abang juga?”
“Bukan Ibumu, tapi Ibuku, Bang?”
“Apa bedanya? Mereka berdua sama, Ibu kita. Mereka memang tidak akan keberatan. Tapi kita, kita ini akan jadi anak yang tegaan. Seolah-olah, kita ini tidak punya perasaan.”
“Jadi, kita harus bagaimana?”
“Istriku, takut tidak tercukupi akan rezeki adalah penghinaan kepada Allah. Jangan khawatir! Mintalah pada-Nya. Atau begini saja, Abang ada ide! Tapi Abang mau tanya dulu.”
“Apa, Bang?”
“Apa alasan paling mendasar, yang membuat kamu ingin bekerja?”
“Ya untuk memperbaiki perekonomian kita, Bang. Aku ingin membantumu dalam penghasilan. Untuk kita, keluarga kita.”
“Kalau memang begitu, kita buka usaha kecil saja di rumah. Misal sarapan pagi. Bubur ayam misalnya? Atau, bisnis online saja. Kamu yang jalani. Bagaimana? anak terurus, rumah terurus, Abang terlayani, uang masuk terus, InsyaAllah. Keren, kan?”
“Suamiku sayang, aku tidak pandai berbisnis, tidak bisa jualan. Aku ini karyawati. Bakatku di sana. Aku harus keluar kalau ingin menambah penghasilan.”
“Tidak harus keluar. Tenang, masih ada solusi!”
“Apa?”
“Bukankah ada yang lima waktu? Bukankah ada Tahajud? Bukankah ada Dhuha? Bukankah ada sedekah? Bukankah ada puasa? Bukankah ada amalan-amalan lainnya? Allah itu Maha Kaya. Minta saja pada-Nya.”
“Iya, Bang, aku tahu. Tapi itu semua harus ada ikhtiar nyata.”
“Kita ini partner, sayang. Abanglah pelaksana ikhtiarnya. Tugas kamu cukup itu. InsyaAllah jika menurut Allah baik, menurut-Nya kita pantas, kehidupan kita pasti akan berubah.”
“Tapi, Bang?!”
“Abang tanya lagi…, kamu ingin kita hidup kaya, apa berkah?”
“Aku ingin kita hidup kaya dan berkah.”
“Kalau begitu lakukan amalan-amalan tadi. InsyaAllah kaya dan berkah.”
“Kalau tidak kaya?”
“Kan masih berkah? Dan…, tahu apa yang terjadi padamu jika tetap istiqomah dengan itu?”
“Apa, Bang?
“Pilihlah pintu surga yang mana saja yang kamu suka. Dan kamu, menjadi sebenar-benarnya perhiasan dunia.”
***
Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang wanita (istri) itu telah melakukan shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, menjaga harga dirinya dan mentaati perintah suaminya, maka ia diundang di akhirat supaya masuk surga berdasarkan pintunya mana yang ia suka (sesuai pilihannya),” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Thabrani).
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita sholehah”
[H.R. Muslim]